Pembaca Buletin At Tauhid yang semoga dirahmati oleh Allah. Terdapat sebuah hadits dari Sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Tatkala Allah menciptakan para makhluk, Dia menulis dalam kitab-Nya,
yang kitab itu terletak di sisi-Nya di atas ‘Arsy, “Sesungguhnya
rahmat-Ku lebih mengalahkan kemurkaan-Ku.” (HR. Bukhari no. 6855 dan Muslim no. 2751)
Di dalam Fathul Bari, hadits di atas menjelaskan bahwa rahmat Allah ta’ala lebih dahulu ada dan lebih luas daripada murka-Nya. Hal itu disebabkan rahmat Allah ta’ala adalah sifat yang sudah melekat pada diri-Nya (sifat dzatiyyah)
dan diberikan kepada makhluk-Nya tanpa sebab apapun. Dengan kata lain,
walaupun tidak pernah ada jasa dan pengorbanan dari makhluk-Nya, pada
asalnya Allah ta’ala tetap sayang kepada makhluk-Nya. Dia
menciptakannya, memberi rizki kepadanya dari sejak dalam kandungan,
ketika penyusuan, sampai dewasa, walaupun belum ada amal darinya untuk
Allah ta’ala. Sementara murka-Nya timbul dengan sebab pelanggaran dari makhluk-Nya. Maka dari itu, rahmat Allah ta’ala sudah tentu mendahului murka-Nya.
Luasnya Rahmat Allah
Dari hadits di atas juga menunjukkan betapa luasnya rahmat Allah yang
diberikan kepada makhluk-Nya. Berikut kami sampaikan beberapa riwayat
yang berkaitan dengan luasnya rahmat Allah ta’ala.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata: Saya mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,“Allah
menjadikan rahmat (kasih sayang) itu seratus bagian, lalu Dia menahan
di sisi-Nya 99 bagian dan Dia menurunkan satu bagiannya ke bumi. Dari
satu bagian inilah seluruh makhluk berkasih sayang sesamanya,
sampai-sampai seekor kuda mengangkat kakinya karena takut menginjak
anaknya.” (HR. Bukhari no. 5541 dan Muslim no. 2752)
Dari Umar bin Al Khattab radhiyallahu ‘anhu, beliau menuturkan: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
kedatangan rombongan tawanan perang. Di tengah-tengah rombongan itu ada
seorang ibu yang sedang mencari-cari bayinya. Tatkala dia berhasil
menemukan bayinya di antara tawanan itu, maka dia pun memeluknya
erat-erat ke tubuhnya dan menyusuinya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya kepada kami, “Apakah menurut kalian ibu ini akan tega melemparkan anaknya ke dalam kobaran api?” Kami menjawab, “Tidak mungkin, demi Allah. Sementara dia sanggup untuk mencegah bayinya terlempar ke dalamnya.” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sungguh Allah lebih sayang kepada hamba-hamba-Nya daripada ibu ini kepada anaknya.” (HR. Bukhari no. 5999 dan Muslim no. 2754)
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Kalau
seandainya seorang mukmin mengetahui segala bentuk hukuman yang ada di
sisi Allah niscaya tidak akan ada seorang pun yang masih berhasrat untuk
mendapatkan surga-Nya. Dan kalau seandainya seorang kafir mengetahui
segala bentuk rahmat yang ada di sisi Allah niscaya tidak akan ada
seorang pun yang berputus asa untuk meraih surga-Nya.” (HR. Bukhari no. 6469 dan Muslim no. 2755)
Jangan Berputus Asa dari Rahmat Allah
Setelah mengetahui betapa luasnya rahmat Allah ta’ala, maka
seharusnya kita lebih bersemangat lagi untuk menggapainya dan jangan
sampai berputus asa darinya. Sikap putus asa dari rahmat Allah inilah
yang Allah sifatkan kepada orang-orang kafir dan orang-orang yang sesat.
Allah berfirman, “Mereka menjawab, ‘Kami menyampaikan berita
gembira kepadamu dengan benar, maka janganlah kamu termasuk orang-orang
yang berputus asa’. Ibrahim berkata, ‘Tidak ada orang yang berputus asa
dari rahmat Rabb-Nya, kecuali orang-orang yang sesat’.” (QS. Al Hijr: 55-56)
Dan juga firman-Nya, “Wahai anak-anakku, pergilah kamu, maka
carlah berita tentang Yusuf dan saudaranya dan jangan kamu berputus asa
dari rahmat Allah. Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah
melainkan kaum yang kafir.” (QS. Yusuf: 87). Syaikh Salim bin ‘Ied Al Hilaly hafidzahullah memberikan faidah untuk ayat di atas, “Oleh sebab itu, berputus asa dari rahmat Allah ta’ala
merupakan sifat orang-orang sesat dan pesimis terhadap karunia-Nya
merupakan sifat orang-orang kafir. Karena mereka tidak mengetahui
keluasan rahmat Rabbul ‘Aalamiin. Siapa saja yang jatuh dalam perbuatan terlarang ini berarti ia telah memiliki sifat yang sama dengan mereka, laa haula wa laa quwwata illaa billaah.”
Selain itu, berputus asa dari rahmat Allah juga termasuk salah satu diantara dosa-dosa besar. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ketika ditanya tentang dosa-dosa besar beliau menjawab, “Yaitu syirik kepada Allah, putus asa dari rahmat Allah, dan merasa aman dari makar/adzab Allah.” (HR. Ibnu Abi Hatim, hasan)
Ampunan Allah Termasuk Rahmat-Nya
Pembaca yang dirahmati Allah, salah satu bentuk luasnya rahmat Allah
adalah luasnya ampunan Allah bagi para hamba-Nya yang pernah melakukan
kemaksiatan kepada Allah, selama hamba tersebut mau bertaubat. Allah ta’ala berfirman, “Katakanlah:
“Hai hamba-hamba-Ku yang malampaui batas terhadap diri mereka sendiri,
janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah
mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang.” (QS. Az Zumar: 53)
Ibnu Katsir rahimahullah menafsirkan ayat di atas, “Ayat
yang mulia ini berisi seruan kepada setiap orang yang berbuat maksiat
baik kekafiran dan lainnya untuk segera bertaubat kepada Allah. Ayat ini
mengabarkan bahwa Allah akan mengampuni seluruh dosa bagi siapa yang
ingin bertaubat dari dosa-dosa tersebut, walaupun dosa tersebut amat
banyak, bagaikan buih di lautan.”
Kemudian beliau menambahkan, “Berbagai hadits menunjukkan bahwa Allah
mengampuni setiap dosa (termasuk pula kesyirikan) jika seseorang mau
bertaubat. Janganlah seseorang berputus asa dari rahmat Allah, walaupun
begitu banyak dosa yang ia lakukan karena pintu taubat dan rahmat Allah
begitu luas.”
Dari Anas radhiyallahu ‘anhu, Saya mendengar Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda, Allah ta’ala berfirman,
“…Hai anak Adam, sungguh seandainya kamu datang menghadapKu dengan
membawa dosa sepenuh bumi, dan kau datang tanpa menyekutukan-Ku dengan
sesuatupun. Sungguh Aku akan mendatangimu dengan ampunan sepenuh bumi
pula.” (HR. Tirmidzi, hasan)
Jangan Kau Undang Murka Allah dan Merasa Aman Darinya
Banyak manusia yang terlena karena luasnya rahmat dan kasih sayang
Allah terhadapnya, sehingga menjadikan dia merasa aman dari datangnya
murka Allah disebabkan dosa dan kemaksiatan yang ia lakukan. Kemurkaan
Allah bisa datang berupa adzab dan siksa baik di dunia maupun di
akhirat.
Allah ta’ala berfirman, “Maka apakah mereka aman dari
adzab Allah (yang tidak terduga-duga datangnya)? Tiadalah yang merasa
aman dari adzab Allah kecuali orang-orang yang merugi.” (QS. Al
A’raf: 99). Ayat tersebut menjelaskan bahwa diantara sifat orang-orang
musyrik adalah mereka merasa aman dari siksa Allah dan tidak merasa
takut dari siksa-Nya.
Maka hakikat adzab (makar) Allah ta’ala ialah Allah
memberikan kelonggaran kepada seorang hamba yang senantiasa berbuat dosa
dan maksiat dengan memudahkan urusannya (dalam bermaksiat) sehingga di
benar-benar merasa aman dari murka dan siksa-Nya. Dan hal inilah yang
dinamakan “istidraj”.
Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Jika
Allah memberikan kenikmatan kepada seorang hamba padahal dia tetap
dengan maksiat yang dikerjakannya, maka sesungguhnya itu adalah
istidaj.” Kemudian Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam membacakan firman Allah, “Maka
ketika mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka,
Kami pun membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka, Kami
siksa mereka dengan sekonyong-konyong. Maka ketika itu mereka terdiam
dan berputus asa.” [QS. Al An'am: 44] (HR. Ahmad, shahih)
Miliki Rasa Harap (raja’) dan Takut (khauf)
Sudah seharusnya bagi seorang muslim untuk memiliki rasa harap (raja’) dan takut (khauf)
dalam dirinya. Yaitu senantiasa berharap atas rahmat Allah dan tidak
berputus asa darinya, dan senantiasa takut akan datangnya adzab dan
siksa Allah ta’ala. Bagaimana selayaknya menyeimbangkan antara kadar harap (raja’) dan takut (khauf) pada diri seseorang? Berikut uraian singkat mengenai masalah tersebut. — dinukil dari Buku Mutiara Faidah Kitab Tauhid —
- Jika seseorang berada dalam keadaan sehat, lapang, dan rajin dalam beramal shalih, maka semestinya kadar keduanya (harap dan takut) dijaga kesimbangannya. Allah berfirman, “Maka Kami memperkenankan doanya, dan Kami anugerahkan kepadanya Yahya dan Kami jadikan istrinya dapat mengandung. Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu bersegera dalam (mengerjakan) perbuatan-perbuatan yang baik dan mereka berdoa kepada Kami dengan harap dan cemas dan mereka adalah orang-orang yang khusyu’ kepada Kami.” (QS. Al Anbiya’: 90)
- Jika dalam keadaan sehat dan lapang, namun selalu berbuat maksiat kepada Allah, maka semestinya kadar takutnya lebih ditinggikan. Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Jika Allah memberikan kenikmatan kepada seorang hamba padahal dia tetap dengan maksiat yang dikerjakannya, maka sesungguhnya itu adalah istidaj.” (HR. Ahmad)
- Jika dalam keadaan menghadapi kematian (dalam keadaan kesulitan), maka semestinya kadar harapnya lebih ditinggikan. Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Janganlah kalian mati kecuali dalam keadaan berprasangka baik kepada Allah ‘azaa wa jalla.” (HR. Muslim). Wallaahu a’lam. [Disusun oleh Raksaka Indra]
0 comments:
Post a Comment
Mohon maaf komentar yang berisi spam dan kata-kata kotor akan kami hapus. Mari kita jaga etika dalam menulis komentar untuk kebaikan kita bersama. Terima Kasih...