Friday, September 28, 2012

PANDUAN QURBAN


Secara bahasa udhiyah berarti kambing yang disembelih pada waktu mulai akan siang dan waktu setelah itu. Ada pula yang memaknakan secara bahasa dengan kambing yang disembelih pada Idul Adha. Sedangkan menurut istilah syar’i,udhiyah adalah sesuatu yang disembelih dalam rangka mendekatkan diri pada Allah Ta’ala pada hari nahr (Idul Adha) dengan syarat-syarat yang khusus.
Istilah qurban lebih umum dari udhiyahQurban adalah segala bentuk pendekatan diri pada Allah baik berupa penyembelihan atau selainnya. Kaitan udhiyah dan qurban yaitu keduanya sama-sama bentuk pendekatan diri pada Allah. Jika bentuk qurban adalah penyembelihan, maka itu lebih erat kaitannya.
Pensyariatan Qurban
Udhiyah (qurban) pada hari nahr (Idul Adha) disyariatkan berdasarkan beberapa dalil, di antaranya ayat (yang artinya), “Dirikanlah shalat dan berqurbanlah (an nahr).” (QS. Al Kautsar: 2). Di antara tafsiran ayat ini adalah “berqurbanlah pada hari raya Idul Adha (yaumun nahr)”.(Lihat Zaadul Masiir, 9: 249)
Keutamaan Qurban
Tak diragukan lagi, udhiyah adalah ibadah pada Allah dan pendekatan diri pada-Nya, juga dalam rangka mengikuti ajaran Nabi kita Muhammad -shallallahu ‘alaihi wa sallam-. Kaum muslimin sesudah beliau pun melestarikan ibadah mulia ini. Tidak ragu lagi ibadah ini adalah bagian dari syari’at Islam. Hukumnya adalah sunnah muakkad (yang amat dianjurkan) menurut mayoritas ulama. Ada beberapa hadits yang menerangkan fadhilah atau keutamaannya, namun tidak ada satu pun yang shahih. Ibnul ‘Arobi dalam ‘Aridhotil Ahwadzi (6: 288) berkata, “Tidak ada hadits shahih yang menerangkan keutamaan udhiyah. Segelintir orang meriwayatkan beberapa hadits yang ajiib (yang menakjubkan), namun tidak shahih.” (Lihat Fiqhul Udhiyah, hal. 9)
Ibnul Qayyim berkata, “Penyembelihan yang dilakukan di waktu mulia lebih afdhol daripada sedekah senilai penyembelihan tersebut. Oleh karenanya jika seseorang bersedekah untuk menggantikan kewajiban penyembelihan pada manasik tamattu’ dan qiron meskipun dengan sedekah yang bernilai berlipat ganda, tentu tidak bisa menyamai keutamaan udhiyah.”
Hukum Qurban
Hukum qurban adalah sunnah (dianjurkan, tidak wajib) menurut pendapat jumhur (mayoritas ulama). Dalil yang mendukung pendapat jumhur adalah hadits dari Ummu Salamah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika telah masuk 10 hari pertama dari Dzulhijjah dan salah seorang di antara kalian berkeinginan untuk berqurban, maka janganlah ia menyentuh (memotong) rambut kepala dan rambut badannya (diartikan oleh sebagian ulama: kuku) sedikit pun juga.” (HR. Muslim). Imam Asy Syafi’i rahimahullah berkata, “Dalam hadits ini adalah dalil bahwasanya hukum udhiyah tidaklah wajib karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika kalian ingin menyembelih qurban …”. Seandainya menyembelih udhiyah itu wajib, beliau akan bersabda, “Janganlah memotong rambut badannya hingga ia berqurban (tanpa didahului dengan kata-kata: Jika kalian ingin …, pen)”.” (Disebutkan oleh Al Baihaqi dalam Al Kubro).
Dari Abu Suraihah, ia berkata, “Aku pernah melihat Abu Bakr dan ‘Umar tidak berqurban.” (HR. Abdur Rozaq). Ibnu Juraij berkata bahwa beliau berkata kepada ‘Atho’, “Apakah menyembelih qurban itu wajib bagi manusia?” Ia menjawab, “Tidak. Namun Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berqurban.” (HR. Abdur Rozaq)
Niatan Qurban untuk Mayit
Para ulama berselisih pendapat mengenai kesahan qurban untuk mayit jika bukan karena wasiat. Dalam madzhab Syafi’i, qurbannya tidak sah kecuali jika ada wasiat dari mayit. Imam Nawawi rahimahullah berkata dalam Al Minhaj, “Tidak sah qurban untuk orang lain selain dengan izinnya. Tidak sah pula qurban untuk mayit jika ia tidak memberi wasiat untuk qurban tersebut.
Yang masih dibolehkan adalah berqurban untuk mayit namun sebagai ikutan. Misalnya seseorang berqurban untuk dirinya dan keluarganya termasuk yang masih hidup atau yang telah meninggal dunia. Dasarnya adalah karena Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berqurban untuk dirinya dan keluarganya, termasuk di dalamnya yang telah meninggal dunia. (Lihat Talkhish Kitab Ahkamil Udhiyah wadz Dzakaah, Syaikh Ibnu Utsaimin, hal. 12-13)
Waktu Penyembelihan Qurban
Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang menyembelih qurban sebelum shalat (Idul Adha), maka ia berarti menyembelih untuk dirinya sendiri. Barangsiapa yang menyembelih setelah shalat (Idul Adha), maka ia telah menyempurnakan manasiknya dan ia telah melakukan sunnah kaum muslimin.” (HR. Bukhari)
Sedangkan mengenai waktu akhir dari penyembelihan qurban, Syaikh Musthofa Al ‘Adawi hafizhohullah menjelaskan, “Yang hati-hati bagi seseorang muslim bagi agamanya adalah melaksanakan penyembelihan qurban pada hari Idul Adha (10 Dzulhijjah) sebagaimana yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lakukan dan hal ini lebih selamat dari perselisihan para ulama yang ada. Jika sulit melakukan pada waktu tersebut, maka boleh melakukannya pada 11 dan 12 Dzulhijjah sebagaimana pendapat jumhur (mayoritas) ulama. Wallahu a’lam.” Sedangkan yang menyatakan bahwa waktu penyembelihan pada seluruh hari tasyriq (11, 12, dan 13 Dzulhijjah) dibangun di atas riwayat yang dho’if. (Lihat Fiqhul Udhiyah, hal. 119)
Pembagian Sepertiga dari Hasil Qurban
Hasil sembelihan qurban dianjurkan dimakan oleh shohibul qurban. Sebagian lainnya diberikan kepada faqir miskin untuk memenuhi kebutuhan mereka pada hari itu. Sebagian lagi diberikan kepada kerabat agar lebih mempererat tali silaturahmi. Sebagian lagi diberikan pada tetangga dalam rangka berbuat baik. Juga sebagian lagi diberikan pada saudara muslim lainnya agar semakin memperkuat ukhuwah.” (Fatwa Al Lajnah Ad Daimah no. 5612, 11: 423-424)
Adapun daging hasil sembelihan qurban, maka lebih utama sepertiganya dimakan oleh shohibul qurban; sepertiganya lagi dihadiahkan pada kerabat, tetangga, dan sahabat dekat; serta sepertiganya lagi disedekahkan kepada fakir miskin. Namun jika lebih/ kurang dari sepertiga atau diserahkan pada sebagian orang tanpa lainnya (misalnya hanya diberikan pada orang miskin saja tanpa yang lainnya, pen), maka itu juga tetap diperbolehkan. Dalam masalah ini ada kelonggaran.” (Fatawa Al Lajnah Ad Da-imah no. 1997, 11: 424-425)
Ketentuan Hewan Qurban
Hewan yang digunakan untuk qurban adalah unta, sapi (termasuk kerbau), dan kambing.
Seekor kambing hanya untuk qurban satu orang dan boleh pahalanya diniatkan untuk seluruh anggota keluarga meskipun jumlahnya banyak atau bahkan yang sudah meninggal dunia. Seekor sapi boleh dijadikan qurban untuk 7 orang. Sedangkan seekor unta untuk 10 orang (atau 7 orang menurut pendapat yang lainnya).
Sedangkan ketentuan umur yang mesti diperhatikan: (1) unta, umur minimal  5 tahun; (2) sapi, umur minimal 2 tahun, (3) kambing, umur minimal 1 tahun, (4) domba jadza’ah, umur minimal 6 bulan.
Yang paling dianjurkan sebagai hewan qurban adalah: (1) yang paling gemuk dan sempurna, (2) hewan qurban yang lebih utama adalah unta, kemudian sapi, kemudian kambing, namun satu ekor kambing lebih baik daripada kolektif dalam sapi atau unta, (4) warna yang paling utama adalah putih polos, kemudian warna debu (abu-abu), kemudian warna hitam, (5) berkurban dengan hewan jantan lebih utama dari hewan betina.
Cacat hewan qurban dibagi menjadi 3:
1- Cacat yang menyebabkan tidak sah untuk berqurban, ada 4:
  1. Buta sebelah dan jelas sekali kebutaannya
  2. Sakit dan tampak jelas sakitnya
  3. Pincang dan tampak jelas pincangnya
  4. Sangat tua sampai-sampai tidak punya sumsum tulang
2- Cacat yang menyebabkan makruh untuk berqurban, ada 2:
  1. Sebagian atau keseluruhan telinganya terpotong
  2. Tanduknya pecah atau patah
3. Cacat yang tidak berpengaruh pada hewan qurban (boleh dijadikan untuk qurban) namun kurang sempurna.
Selain 6 jenis cacat di atas atau cacat yang tidak lebih parah dari itu maka tidak berpengaruh pada status hewan qurban. Misalnya tidak bergigi (ompong), tidak berekor, bunting, atau tidak berhidung. (Lihat Shahih Fiqih Sunnah, 2: 370-375)
Tuntunan Penyembelihan Qurban
1- Syarat hewan qurban, Yaitu hewan tersebut masih dalam keadaan hidup ketika penyembelihan, bukan dalam keadaan bangkai (sudah mati).
2- Syarat orang yang akan menyembelih: (1) berakal, baik laki-laki maupun perempuan, sudah baligh atau belum baligh asalkan sudah tamyiz, (2) yang menyembelih adalah seorang muslim atau ahli kitab (Yahudi atau Nashrani), (3) menyebut nama Allah ketika menyembelih.
Perhatian: Sembelihan ahlul kitab bisa halal selama diketahui kalau mereka tidak menyebut nama selain Allah. Jika diketahui mereka menyebut nama selain Allah ketika menyembelih, semisal mereka menyembelih atas nama Isa Al Masih, ‘Udzair atau berhala, maka pada saat ini sembelihan mereka menjadi tidak halal.
3- Syarat alat untuk menyembelih: (1) menggunakan alat pemotong, baik dari besi atau selainnya, baik tajam atau tumpul asalkan bisa memotong, (2) tidak menggunakan tulang dan kuku.
4- Adab dalam penyembelihan hewan: (1) berbuat baik terhadap hewan, (2) membaringkan hewan di sisi sebelah kiri, memegang pisau dengan tangan kanan dan menahan kepala hewan ketika menyembelih, (3) meletakkan kaki di sisi leher hewan, (4) menghadapkan hewan ke arah kiblat, (5) mengucapkan tasmiyah (basmalah) dan takbir.
Ketika akan menyembelih disyari’atkan membaca “bismillaahi wallaahu akbarhadza minka wa laka” atau ”hadza minka wa laka ’annii atau ’an fulan (disebutkan nama shahibul qurban)” atauberdoa agar Allah menerima qurbannya dengan doa, ”Allahumma taqabbal minnii (Semoga Allah menerima qurbanku) atau min fulan (disebutkan nama shahibul qurban).
Sudah Berqurban Kok Malah Dijual?
Ketika Imam Ahmad di tanya tentang orang yang menjual daging qurban, ia terperanjat, seraya berkata, “Subhanallah, bagaimana dia berani menjualnya padahal hewan tersebut telah ia persembahkan untuk Allah tabaraka wa taala”.
Secara logika suatu barang yang telah anda berikan kepada orang lain bagaimana mungkin anda menjualnya lagi.
Imam Syafi’i juga berkata,” Jika ada yang bertanya kenapa dilarang menjual daging qurban padahal boleh dimakan? Jawabnya, hewan qurban adalah persembahan untuk Allah. Setelah hewan itu dipersembahkan untukNya, manusia pemilik hewan tidak punya wewenang apapun atas hewan tersebut, karena telah menjadi milik Allah. Maka Allah hanya mengizinkan daging hewan untuk dimakan. Maka hukum menjualnya tetap dilarang karena hewan itu bukan lagi menjadi milik yang berqurban”. Oleh karena itu para ulama melarang menjual bagian apapun dari hewan qurban yang telah disembelih; daging, kulit, kikil, gajih, kepala dan anggota tubuh lainnya. Mereka melarangnya berdasarkan dalil, di antaranya sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Barang siapa yang menjual kulit hewan qurbannya maka qurbannya tidak diterima.” (HR. Hakim dan Baihaqi, shahih)
Hadis di atas sangat tegas melarang untuk menjual qurban sekalipun kulitnya karena berakibat kepada tidak diterimanya qurban dari pemilik hewan. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, “Janganlah kalian jual daging hewan hadyu (hewan yang dibawa oleh orang yang haji ke Mekkah untuk disembelih di tanah haram), juga jangan dijual daging qurban. Makanlah dan sedekahkanlah serta pergunakan kulitnya.” (HR. Ahmad, mursal shahih sanad). Hadits ini juga tegas melarang menjual daging hewan qurban.
Ali bin Abi Thalib berkata, “Nabi memerintahkanku untuk menyembelih unta hewan qurban miliknya, dan Nabi memerintahkan agar aku tidak memberi apapun kepada tukang potong sebagai upah pemotongan”. (HR. Bukhari). Hadits ini juga menunjukkan bahwa tidak boleh diberikan bagian apapun dari anggota tubuh hewan qurban kepada tukang potong sebagai imbalan atas kerjanya memotong hewan. Bila saja upah tukang potong tidak boleh diambilkan dari hewan qurban apatah lagi menjualnya kepada orang lain.
Begitu juga orang yang bekerja sebagai panitia qurban tidak boleh mengambil upah dari hewan qurban. Bila menginginkah upah mengurus qurban mintalah kepada pemilik qurban berupa uang.
Semoga bermanfaat. Wallahu waliyyut taufiq[Muhammad Abduh Tuasikal, Riyadh-KSA, 2 Dzulqo’dah 1433 H]
Readmore »

Description: PANDUAN QURBAN Rating: 5 Reviewer: Rizal ItemReviewed: PANDUAN QURBAN

Thursday, September 27, 2012

Syirik yang Sering Diucapkan

At Tauhid edisi VIII/9
Oleh: M. Abduh Tuasikal
Kaum muslimin yang semoga selalu mendapatkan taufiq Allah Ta’ala. Kita semua telah mengetahui bahwa Allah adalah satu-satunya Rabb (Tuhan) alam semesta, Yang menciptakan kita dan orang-orang sebelum kita, Yang menjadikan bumi sebagai hamparan untuk kita mencari nafkah, dan Yang menurunkan hujan untuk menyuburkan tanaman sebagai rizki bagi kita. Setelah kita mengetahui demikian, hendaklah kita hanya beribadah kepada Allah semata dan tidak menjadikan bagi-Nya tandingan/sekutu dalam beribadah. Allah Ta’ala berfirman yang artinya, “Dialah yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap, dan Dia menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia menghasilkan dengan hujan itu segala buah-buahan sebagai rezki untukmu; karena itu janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah, padahal kamu mengetahui.” (Al Baqarah [2]: 22)

Lebih samar dari jejak semut di atas batu hitam di tengah kegelapan malam
Sahabat Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma –yang sangat luas dan mendalam ilmunya- menafsirkan ayat di atas dengan mengatakan, ”Yang dimaksud membuat sekutu bagi Allah (dalam ayat di atas, pen) adalah berbuat syirikSyirik adalah suatu perbuatan dosa yang lebih sulit (sangat samar) untuk dikenali  daripada jejak semut yang merayap di atas batu hitam di tengah kegelapan malam.”

Kemudian Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma mencontohkan perbuatan syirik yang samar tersebut seperti, ‘Demi Allah dan demi hidupmu wahai fulan’, ‘Demi hidupku’ atau ‘Kalau bukan karena anjing kecil orang ini, tentu kita didatangi pencuri-pencuri itu’ atau ‘Kalau bukan karena angsa yang ada di rumah ini tentu datanglah pencuri-pencuri itu’, dan ucapan seseorang kepada kawannya ‘Atas kehendak Allah dan kehendakmu’, juga ucapan seseorang ‘Kalau bukan karena Allah dan karena fulan’. Akhirnya beliau radhiyallahu ‘anhuma mengatakan, ”Janganlah engkau menjadikan si fulan (sebagai sekutu bagi Allah, pen)  dalam ucapan-ucapan tersebut. Semua ucapan ini adalah perbuatan SYIRIK.” (HR. Ibnu Abi Hatim) (Lihat Kitab Tauhid, Syaikh Muhammad At Tamimi) Itulah syirik. Ada sebagian yang telah diketahui dengan jelas seperti menyembelih, bernadzar, berdo’a, meminta dihilangkan musibah (istighotsah) kepada selain Allah. Dan terdapat pula bentuk syirik (seperti dikatakan Ibnu Abbas di atas) yang sangat sulit dikenali (sangat samar). Syirik seperti ini ada 2 macam.

Pertama, syirik dalam niat dan tujuan. Ini termasuk perbuatan yang samar karena niat terdapat dalam hati dan yang mengetahuinya hanya Allah Ta’ala. Seperti seseorang yang shalat dalam keadaan ingin dilihat (riya’) atau didengar (sum’ah) orang lain. Tidak ada yang mengetahui perbuatan seperti ini kecuali Allah Ta’ala.

Kedua, syirik yang tidak diketahui oleh kebanyakan manusia. Syirik seperti ini adalah seperti syirik dalam ucapan (selain perkara i’tiqod/keyakinan). Syirik semacam inilah yang akan dibahas pada kesempatan kali ini. Karena kesamarannya lebih dari jejak semut yang merayap di atas batu hitam di tengah kegelapan malam. Oleh karena itu, sedikit sekali yang mengetahui syirik seperti ini secara jelas. (Lihat I’anatul Mustafid bisyarh Kitabut Tauhid, hal. 158, Syaikh Shalih bin Fauzan Al Fauzan)

Berikut ini akan disebutkan beberapa contoh syirik yang masih samar, dianggap remeh, dan sering diucapkan dengan lisan oleh manusia saat ini.

Mencela makhluk yang tidak dapat berbuat apa-apa
Perbuatan seperti ini banyak dilakukan oleh kebanyakan manusia saat ini –barangkali juga kita-. Lidah ini begitu mudahnya mencela makhluk yang tidak mampu berbuat sedikit pun, seperti di antara kita sering mencela waktu, angin, atau pun hujan. Misalnya dengan mengatakan, ‘Bencana ini bisa terjadi karena bulan ini adalah bulan Suro’ atau mengatakan ‘Sialan!Gara-gara angin ribut ini, kita gagal panen’ atau dengan mengatakan pula, ‘Aduh!! hujan lagi, hujan lagi’.

Lidah ini begitu mudah mengucapkan perkataan seperti itu. Padahal makhluk yang kita cela tersebut tidak mampu berbuat apa-apa kecuali atas kehendak Allah. Mencaci mereka pada dasarnya telah mencaci, mengganggu dan menyakiti yang telah menciptakan dan mengatur mereka yaitu Allah Ta’ala.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,“Allah Ta’ala berfirman, ‘Manusia menyakiti Aku; dia mencaci maki masa (waktu), padahal Aku adalah pemilik dan pengatur masa, Aku-lah yang mengatur malam dan siang menjadi silih berganti.’ ” (HR. Bukhari dan Muslim). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,”Janganlah kamu mencaci maki angin.” (HR. Tirmidzi, beliau mengatakan hasan shohih)

Dari dalil-dalil ini terlihat bahwa mencaci maki masa (waktu), angin dan makhluk lain yang tidak dapat berbuat apa-apa adalah terlarang. Larangan ini bisa termasuk syirik akbar (syirik yang mengeluarkan seseorang dari Islam) jika diyakini makhluk tersebut sebagai pelaku dari sesuatu yang jelek yang terjadi. Meyakini demikian berarti meyakini bahwa makhluk tersebut yang menjadikan baik dan buruk dan ini sama saja dengan menyatakan ada pencipta selain Allah. Namun, jika diyakini yang menakdirkan adalah Allah sedangkan makhluk-makhluk tersebut bukan pelaku dan hanya sebagai sebab saja, maka seperti ini termasuk keharaman, tidak sampai derajat syirik. Dan apabila yang dimaksudkan cuma sekedar pemberitaan, -seperti mengatakan,’Hari ini sangat panas sekali, sehingga kita menjadi capek’-, tanpa tujuan mencela sama sekali maka seperti ini tidaklah mengapa.

Bersumpah dengan menyebut nama selain Allah
Bersumpah dengan nama selain Allah juga sering diucapkan oleh orang-orang saat ini, seperti ucapan, ‘Demi Nyi Roro Kidul’ atau ‘Aku bersumpah dengan nama …’. Semua perkataan seperti ini diharamkan bahkan termasuk syirik. Karena hal tersebut menunjukkan bahwa dalam hatinya mengagungkan selain Allah kemudian digunakan untuk bersumpah. Padahal pengagungan seperti ini hanya boleh diperuntukkan kepada Allah Ta’ala semata. Barangsiapa mengagungkan selain Allah Ta’ala dengan suatu pengagungan yang hanya layak diperuntukkan kepada Allah Ta’ala, maka dia telah terjatuh dalam syirik akbar (syirik yang mengeluarkan seseorang dari Islam). Namun, apabila orang yang bersumpah tersebut tidak meyakini keagungan sesuatu yang dijadikan sumpahnya tersebut sebagaimana keagungan Allah Ta’ala, maka dia telah terjatuh dalam syirik ashgor (syirik kecil yang lebih besar dari dosa besar).

Berhati-hatilah dengan bersumpah seperti ini karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda yang artinya,”Barangsiapa bersumpah dengan nama selain Allah, maka ia telah berbuat kekafiran atau kesyirikan.” (HR. Tirmidzi dan Hakim dishahihkan Syaikh Al Albani dalam Shohihul Jaami’)

Menyandarkan nikmat kepada selain Allah
Perbuatan ini juga dianggap sepele oleh kebanyakan orang saat ini. Padahal menyandarkan nikmat kepada selain Allah termasuk syirik dan kekufuran kepada-Nya. Allah Ta’ala mengatakan tentang orang yang mengingkari nikmat Allah dalam firman-Nya yang artinya, ”Mereka mengetahui nikmat Allah, kemudian mereka mengingkarinya dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang kafir.” (An Nahl: 83)

Menurut salah satu penafsiran ayat ini : ‘Mereka mengenal berbagai nikmat Allah (yaitu semua nikmat yang disebutkan dalam surat An Nahl) dengan hati mereka, namun lisan mereka menyandarkan berbagai nikmat tersebut kepada selain Allah. Atau mereka mengatakan nikmat tersebut berasal dari Allah, akan tetapi hati mereka menyandarkannya kepada selain Allah’.

Menyandarkan nikmat kepada selain Allah termasuk syirik karena orang yang menyadarkan nikmat kepada selain Allah berarti telah menyatakan bahwa selain Allah-lah yang telah memberikan nikmat (ini termasuk syirik dalam tauhid rububiyah). Dan ini juga berarti dia telah meninggalkan ibadah syukur. Meninggalkan syukur berarti telah menafikan (meniadakan) tauhid. Setiap hamba mempunyai kewajiban untuk bersyukur atas nikmat yang telah Allah berikan.

Contoh dari hal ini adalah mengatakan ‘Rumah ini adalah warisan dari ayahku’. Jika memang cuma sekedar berita tanpa melupakan Sang Pemberi Nikmat yaitu Allah, maka perkataan ini tidaklah mengapa. Namun, yang dimaksudkan termasuk syirik di sini adalah jika dia mengatakan demikian dan melupakan Sang Pemberi Nikmat yaitu Allah Ta’ala.

Marilah kita berusaha tatkala mendapatkan nikmat, selalu bersyukur pada Allah dengan memenuhi 3 rukun syukur, yaitu: [1] Mensykuri nikmat tersebut dengan lisan, [2] Mengakui nikmat tersebut berasal dari Allah dengan hati, dan [3] Berusaha menggunakan nikmat tersebut dengan melakukan ketaatan kepada Allah.  (Lihat I’anatul Mustafid, hal. 148-149 dan Al Qoulul Mufid ‘ala Kitabit Tauhid, II/93)

Perbaikilah Diri
Jarang sekali manusia mengetahui bahwa hal-hal di atas termasuk kesyirikan dan kebanyakan orang selalu menyepelekan hal ini dengan sering mengucapkannya . Padahal Allah Ta’ala telah berfirman yang artinya, ”Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa syirik, dan dia mengampuni dosa yang berada di bawah syirik bagi siapa yang dikehendaki-Nya. (QS. An Nisa [4]: 116).

Oleh karena itu, sangat penting sekali bagi kita untuk mempelajari aqidah di mana perkara ini sering dilalaikan dan jarang dipelajari oleh kebanyakan manusia. Aqidah adalah poros dari seluruh perkara agama. Jika aqidah telah benar, maka perkara lainnya juga akan benar. Jika aqidah rusak, maka perkara lainnya juga akan rusak.

Hendaknya pula kita memperbaiki diri dengan selalu memikirkan terlebih dahulu apa yang kita hendak ucapkan. Ingatlah sabda Nabi yang mulia shallallahu ‘alaihi wa sallam, ”Boleh jadi seseorang mengucapkan suatu kata yang diridhai Allah namun tidak ia sadari, sehingga karena ucapannya ini Allah mengangkat derajatnya. Namun boleh jadi seseorang mengucapkan suatu kata yang dimurkai Allah dan tidak ia sadari, sehingga karena ucapannya ini Allah memasukkannya dalam neraka.” (HR. Bukhari)

Jika kita sudah terlanjur melakukan syirik yang samar ini, maka leburlah dengan do’a yang pernah diucapkan Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam: ’Allahumma inni a’udzubika an usyrika bika sya’an wa ana a’lamu wa astaghfiruka minadz dzanbilladzi laa a’lamu’ (Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari perbuatan menyukutakan-Mu dengan sesuatu padahal aku mengetahuinya. Aku juga memohon ampunan kepada-Mu dari kesyirikan yang tidak aku sadari) (HR. Ahmad). [Muhammad Abduh Tuasikal]
Readmore »

Description: Syirik yang Sering Diucapkan Rating: 5 Reviewer: Rizal ItemReviewed: Syirik yang Sering Diucapkan

Rahmat Allah Mendahului Murka-Nya

Pembaca Buletin At Tauhid yang semoga dirahmati oleh Allah. Terdapat sebuah hadits dari Sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tatkala Allah menciptakan para makhluk, Dia menulis dalam kitab-Nya, yang kitab itu terletak di sisi-Nya di atas ‘Arsy, “Sesungguhnya rahmat-Ku lebih mengalahkan kemurkaan-Ku.” (HR. Bukhari no. 6855 dan Muslim no. 2751)

Di dalam Fathul Bari, hadits di atas menjelaskan bahwa rahmat Allah ta’ala lebih dahulu ada dan lebih luas daripada murka-Nya. Hal itu disebabkan rahmat Allah ta’ala adalah sifat yang sudah melekat pada diri-Nya (sifat dzatiyyah) dan diberikan kepada makhluk-Nya tanpa sebab apapun. Dengan kata lain, walaupun tidak pernah ada jasa dan pengorbanan dari makhluk-Nya, pada asalnya Allah ta’ala tetap sayang kepada makhluk-Nya. Dia menciptakannya, memberi rizki kepadanya dari sejak dalam kandungan, ketika penyusuan, sampai dewasa, walaupun belum ada amal darinya untuk Allah ta’ala. Sementara murka-Nya timbul dengan sebab pelanggaran dari makhluk-Nya. Maka dari itu, rahmat Allah ta’ala sudah tentu mendahului murka-Nya.

Luasnya Rahmat Allah
Dari hadits di atas juga menunjukkan betapa luasnya rahmat Allah yang diberikan kepada makhluk-Nya. Berikut kami sampaikan beberapa riwayat yang berkaitan dengan luasnya rahmat Allah ta’ala.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata: Saya mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,“Allah menjadikan rahmat (kasih sayang) itu seratus bagian, lalu Dia menahan di sisi-Nya 99 bagian dan Dia menurunkan satu bagiannya ke bumi. Dari satu bagian inilah seluruh makhluk berkasih sayang sesamanya, sampai-sampai seekor kuda mengangkat kakinya karena takut menginjak anaknya.” (HR. Bukhari no. 5541 dan Muslim no. 2752)

Dari Umar bin Al Khattab radhiyallahu ‘anhu, beliau menuturkan: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kedatangan rombongan tawanan perang. Di tengah-tengah rombongan itu ada seorang ibu yang sedang mencari-cari bayinya. Tatkala dia berhasil menemukan bayinya di antara tawanan itu, maka dia pun memeluknya erat-erat ke tubuhnya dan menyusuinya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya kepada kami, “Apakah menurut kalian ibu ini akan tega melemparkan anaknya ke dalam kobaran api?” Kami menjawab, “Tidak mungkin, demi Allah. Sementara dia sanggup untuk mencegah bayinya terlempar ke dalamnya.” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sungguh Allah lebih sayang kepada hamba-hamba-Nya daripada ibu ini kepada anaknya.” (HR. Bukhari no. 5999 dan Muslim no. 2754)

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Kalau seandainya seorang mukmin mengetahui segala bentuk hukuman yang ada di sisi Allah niscaya tidak akan ada seorang pun yang masih berhasrat untuk mendapatkan surga-Nya. Dan kalau seandainya seorang kafir mengetahui segala bentuk rahmat yang ada di sisi Allah niscaya tidak akan ada seorang pun yang berputus asa untuk meraih surga-Nya.” (HR. Bukhari no. 6469 dan Muslim no. 2755)

Jangan Berputus Asa dari Rahmat Allah
Setelah mengetahui betapa luasnya rahmat Allah ta’ala, maka seharusnya kita lebih bersemangat lagi untuk menggapainya dan jangan sampai berputus asa darinya. Sikap putus asa dari rahmat Allah inilah yang Allah sifatkan kepada orang-orang kafir dan orang-orang yang sesat. Allah berfirman, “Mereka menjawab, ‘Kami menyampaikan berita gembira kepadamu dengan benar, maka janganlah kamu termasuk orang-orang yang berputus asa’. Ibrahim berkata, ‘Tidak ada orang yang berputus asa dari rahmat Rabb-Nya, kecuali orang-orang yang sesat’.” (QS. Al Hijr: 55-56)

Dan juga firman-Nya, “Wahai anak-anakku, pergilah kamu, maka carlah berita tentang Yusuf dan saudaranya dan jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah melainkan kaum yang kafir.” (QS. Yusuf: 87). Syaikh Salim bin ‘Ied Al Hilaly hafidzahullah memberikan faidah untuk ayat di atas, “Oleh sebab itu, berputus asa dari rahmat Allah ta’ala merupakan sifat orang-orang sesat dan pesimis terhadap karunia-Nya merupakan sifat orang-orang kafir. Karena mereka tidak mengetahui keluasan rahmat Rabbul ‘Aalamiin. Siapa saja yang jatuh dalam perbuatan terlarang ini berarti ia telah memiliki sifat yang sama dengan mereka, laa haula wa laa quwwata illaa billaah.”

Selain itu, berputus asa dari rahmat Allah juga termasuk salah satu diantara dosa-dosa besar. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ketika ditanya tentang dosa-dosa besar beliau menjawab, “Yaitu syirik kepada Allah, putus asa dari rahmat Allah, dan merasa aman dari makar/adzab Allah.” (HR. Ibnu Abi Hatim, hasan)

Ampunan Allah Termasuk Rahmat-Nya
Pembaca yang dirahmati Allah, salah satu bentuk luasnya rahmat Allah adalah luasnya ampunan Allah bagi para hamba-Nya yang pernah melakukan kemaksiatan kepada Allah, selama hamba tersebut mau bertaubat. Allah ta’ala berfirman, “Katakanlah: “Hai hamba-hamba-Ku yang malampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Az Zumar: 53)

Ibnu Katsir rahimahullah menafsirkan ayat di atas, “Ayat yang mulia ini berisi seruan kepada setiap orang yang berbuat maksiat baik kekafiran dan lainnya untuk segera bertaubat kepada Allah. Ayat ini mengabarkan bahwa Allah akan mengampuni seluruh dosa bagi siapa yang ingin bertaubat dari dosa-dosa tersebut, walaupun dosa tersebut amat banyak, bagaikan buih di lautan.”

Kemudian beliau menambahkan, “Berbagai hadits menunjukkan bahwa Allah mengampuni setiap dosa (termasuk pula kesyirikan) jika seseorang mau bertaubat. Janganlah seseorang berputus asa dari rahmat Allah, walaupun begitu banyak dosa yang ia lakukan karena pintu taubat dan rahmat Allah begitu luas.”

Dari Anas radhiyallahu ‘anhu, Saya mendengar Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda, Allah ta’ala berfirman, “…Hai anak Adam, sungguh seandainya kamu datang menghadapKu dengan membawa dosa sepenuh bumi, dan kau datang tanpa menyekutukan-Ku dengan sesuatupun. Sungguh Aku akan mendatangimu dengan ampunan sepenuh bumi pula.” (HR. Tirmidzi, hasan)

Jangan Kau Undang Murka Allah dan Merasa Aman Darinya
Banyak manusia yang terlena karena luasnya rahmat dan kasih sayang Allah terhadapnya, sehingga menjadikan dia merasa aman dari datangnya murka Allah disebabkan dosa dan kemaksiatan yang ia lakukan. Kemurkaan Allah bisa datang berupa adzab dan siksa baik di dunia maupun di akhirat.

Allah ta’ala berfirman, “Maka apakah mereka aman dari adzab Allah (yang tidak terduga-duga datangnya)? Tiadalah yang merasa aman dari adzab Allah kecuali orang-orang yang merugi.” (QS. Al A’raf: 99). Ayat tersebut menjelaskan bahwa diantara sifat orang-orang musyrik adalah mereka merasa aman dari siksa Allah dan tidak merasa takut dari siksa-Nya.

Maka hakikat adzab (makar) Allah ta’ala ialah Allah memberikan kelonggaran kepada seorang hamba yang senantiasa berbuat dosa dan maksiat dengan memudahkan urusannya (dalam bermaksiat) sehingga di benar-benar merasa aman dari murka dan siksa-Nya. Dan hal inilah yang dinamakan “istidraj”.

Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Jika Allah memberikan kenikmatan kepada seorang hamba padahal dia tetap dengan maksiat yang dikerjakannya, maka sesungguhnya itu adalah istidaj.” Kemudian Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam membacakan firman Allah, “Maka ketika mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kami pun membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka, Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong. Maka ketika itu mereka terdiam dan berputus asa.” [QS. Al An'am: 44] (HR. Ahmad, shahih)

Miliki Rasa Harap (raja’) dan Takut (khauf)
Sudah seharusnya bagi seorang muslim untuk memiliki rasa harap (raja’) dan takut (khauf) dalam dirinya. Yaitu senantiasa berharap atas rahmat Allah dan tidak berputus asa darinya, dan senantiasa takut akan datangnya adzab dan siksa Allah ta’ala. Bagaimana selayaknya menyeimbangkan antara kadar harap (raja’) dan takut (khauf) pada diri seseorang? Berikut uraian singkat mengenai masalah tersebut. —  dinukil dari Buku Mutiara Faidah Kitab Tauhid
  1. Jika seseorang berada dalam keadaan sehat, lapang, dan rajin dalam beramal shalih, maka semestinya kadar keduanya (harap dan takut) dijaga kesimbangannya. Allah berfirman, Maka Kami memperkenankan doanya, dan Kami anugerahkan kepadanya Yahya dan Kami jadikan istrinya dapat mengandung. Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu bersegera dalam (mengerjakan) perbuatan-perbuatan yang baik dan mereka berdoa kepada Kami dengan harap dan cemas dan mereka adalah orang-orang yang khusyu’ kepada Kami.” (QS. Al Anbiya’: 90)
  2.  Jika dalam keadaan sehat dan lapang, namun selalu berbuat maksiat kepada Allah, maka semestinya kadar takutnya lebih ditinggikan. Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Jika Allah memberikan kenikmatan kepada seorang hamba padahal dia tetap dengan maksiat yang dikerjakannya, maka sesungguhnya itu adalah istidaj.” (HR. Ahmad)
  3. Jika dalam keadaan menghadapi kematian (dalam keadaan kesulitan), maka semestinya kadar harapnya lebih ditinggikan. Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Janganlah kalian mati kecuali dalam keadaan berprasangka baik kepada Allah ‘azaa wa jalla.” (HR. Muslim). Wallaahu a’lam. [Disusun oleh Raksaka Indra]
Readmore »

Description: Rahmat Allah Mendahului Murka-Nya Rating: 5 Reviewer: Rizal ItemReviewed: Rahmat Allah Mendahului Murka-Nya

Keutamaan Bersabar

At Tauhid edisi VIII/17
Oleh: Ndaru Triutomo, S.Si.

Pembaca yang dirahmati Allah ta’ala, setiap kita pasti memiliki permasalahan. Bahkan terkadang sangat berat sehingga benar-benar menguji kesabaran kita.

Sebagian orang ada yang sampai berkata “Kesabaran saya sudah habis”, atau bahkan sampai keluar ucapan Mengapa saya tertimpa musibah semacam ini, apa dosa saya, apa kesalahan saya, padahal saya juga sudah banyak beribadah, sungguh Tuhan tidak adil”. Ini sebagian contoh perkataan yang sering kita dengar. Namun perkataan tersebut tidaklah dibenarkan dalam syari’at Islam, bahkan menunjukkan lemahnya tauhid seseorang.

Pada buletin kali ini, kami akan mengulas secara singkat mengenai perkara yang sangat penting dimiliki setiap muslim, yaitu kesabaran.

Sabar Dalam 3 Perkara
Sabar adalah menahan jiwa dan menjaganya agar tidak sampai melakukan sesuatu yang tidsk selayaknya dilakukan. Terdapat 3 macam bentuk kesabaran, yaitu sabar dalam ketaatan kepada Allah, sabar dari menjauhi kemaksiatan kepada Allah, dan sabar dalam takdir Allah yang menyakitkan dan menyusahkan.

[1] Sabar Dalam Ketaatan Kepada Allah
Sabar jenis ini penting untuk dimiliki oleh setiap hamba, karena sesungguhnya jiwa seringkali terasa berat untuk menjalankan berbagai macam ketaatan. Hal tersebut karena jiwa cenderung menyukai sifat yang jelek, sebagaimana firman Allah ta’ala (yang artinya): “Sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyanyang.” (QS Yusuf : 53).

Seringkali kita jumpai seorang yang beramal namun ia tidak bisa kontinu untuk mengerjakannya. Mereka bersemangat mengerjakan banyak amalan di awal waktu, namun setelah itu ditinggalkan. Untuk itu dibutuhkan kesabaran agar kita dapat kontinu dalam beramal, walaupun amalan tersebut sederhana. Rasulullah shallalahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya) “Amalan yang paling dicintai oleh Allah Ta’ala adalah amalan yang kontinu walaupun itu sedikit.” (HR. Muslim).

Allah ta’ala lebih menyukai amalan yang kontinu walaupun sederhana, karena hal tersebut lebih dapat membantu kontinunya suatu amal. Salah satu usaha agar dapat kontinu dalam beramal adalah dengan berdoa kepada Allah, diantaranya dengan doa: Allahumma a’inni ‘ala dzikrika wa syukrika wa husni ‘ibadatik (ya Allah, tolonglah aku agar selalu berdzikir/mengingat-Mu, bersyukur pada-Mu, dan memperbagus ibadah pada-Mu).” (HR. Abu Daud dan Ahmad, shahih).

[2] Sabar Dalam Menjauhi Kemaksiatan
Rasulullah shallalahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya) “Surga itu diliputi oleh hal-hal yang tidak menyenangkan, sedangkan neraka itu diliputi oleh hal-hal yang menyenangkan nafsu.” (HR. Muslim). Maka dibutuhkan kesabaran untuk dapat menjaga diri dari hal-hal yang menyenangkan hawa nafsu yang pada hakikatnya akan menjerumuskan kepada neraka. Dan kemaksiatan termasuk perkara yang disenangi oleh hawa nafsu.

Seorang yang beriman harus mengendalikan nafsunya dan melihat bahwa kemaksiatan adalah bukan hal yang sepele, melainkan perkara yang dapat membinasakan dirinya. Abdullah bin Mas’ud radhiallahu anhu berkata, ”Orang beriman melihat dosa-dosanya seolah-olah ia duduk di bawah gunung, ia takut gunung tersebut menimpanya. Sementara orang yang fajir (suka berbuat dosa) melihat dosanya seperti lalat yang lewat di atas hidungnya.” (HR. Bukhari). Semua itu hanya dapat dilakukan dengan kesabaran.

[3] Sabar Dalam Menghadapi Takdir Allah
Termasuk kedalam rukun iman adalah kita meyakini adanya takdir atau ketetapan dari Allah ta’ala. Terdapat 2 macam takdir yang menimpa manusia, yang berupa kesenangan dan berupa kesedihan serta musibah. Pada jenis pertama maka kita wajib bersyukur, dengan bersyukur Allah akan tambahkan nikmat-Nya. Adapun yang kedua maka kita wajib bersabar. Dan keduanya (bersyukur dan bersabar) merupakan amalan ibadah yang memiliki nilai pahala di sisi Allah ta’ala.

Rasulullah shallalahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya), “Sungguh menakjubkan perkara seorang mukmin. Semua perkara (yang menimpanya) adalah kebaikan baginya dan tidaklah hal ini terjadi kecuali hanya pada diri seorang mukmin. Jika dia mendapat kebahagiaan dia bersyukur maka hal ini adalah baik baginya. Dan jika tertimpa musibah dia bersabar maka itu juga baik baginya.” (HR. Muslim). Maka sikap seorang muslim jika ditimpa musibah adalah bersabar dan yakin bahwa dibalik musibah yang dialaminya terdapat hikmah dari Allah ta’ala.

Sebagaimana firman Allah (yang artinya), “Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar. (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: “Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun” (Sesungguhnya kami adalah milik Allah dan kepada-Nya-lah kami kembali.)” (QS. Al-Baqoroh 155 – 156).

Selain itu, musibah yang menimpa seorang mukmin merupakan bentuk ujian, sebagaimana firman Allah (yang artinya), “Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk syurga, Padahal belum datang kepadamu (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu? mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan (dengan bermacam-macam cobaan) sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya: “Bilakah datangnya pertolongan Allah?” Ingatlah, Sesungguhnya pertolongan Allah itu Amat dekat.” (QS Al-Baqoroh : 214).

Allah Bersama Orang-Orang Yang Sabar
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), ”Mintalah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan shalat. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.” (QS Al-Baqoroh : 153). Pada ayat ini, Allah memerintahkan kepada orang-orang beriman untuk meminta pertolongan dalam perkara dunia dan akhirat dengan kesabaran dan shalat. Selain itu, ayat yang mulia ini menunjukkan keutamaan orang yang bersabar yaitu mendapat ma’iyyah (kebersamaan) Allah.

Kebersamaan Allah disini bukan berarti Dzat Allah berada di mana-mana, di antaranya bersama orang yang sabar tersebut, karena telah jelas bahwa Allah berada di atas ‘Arsy sebagaimana dalam firman-Nya (yang artinya), “Tuhan Yang Maha Pemurah Yang bersemayam di atas ‘Arsy” (QS Thaaha : 5). Kebersamaan Allah dengan hamba-Nya yang disebutkan dalam Al-Qur’an memiliki 2 makna, yaitu yang bersifat umum dan bersifat khusus.

Kebersamaan Allah yang bersifat umum memiliki arti kekuasaan dan ilmu Allah yang meliputi hamba-Nya, sebagaimana dalam firman Allah (yang artinya), “Dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.” (QS Al Hadid : 4). Kebersamaan jenis ini berlaku umum untuk semua makhluk-Nya. Adapun kebersamaan pada ayat ini adalah bersifat khusus, yaitu kebersamaan dalam arti penjagaan dan pertolongan Allah ta’ala yang selalu menyertai hamba-Nya. Sehingga seluruh perkara yang dirasa berat, dengan pertolongan Allah akan terasa ringan dan mudah. Demikian keutamaan orang-orang yang bersabar. (Taisir Kariimirrahman – Syaikh As-Sa’di).

Kesabaran Tidak Ada Batasnya
Sebagian orang menyangka kesabaran memiliki batas. Maka jika dianggap sudah melewati batas, ia diperbolehkan untuk bertindak diluar aturan. Anggapan seperti ini tidaklah benar. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.” (QS. Az-Zumar: 10). Allah telah menyiapkan pahala bagi mereka yang sabar dengan pahala yang tak terhitung. Hal ini menunjukkan besarnya keutamaan orang yang bersabar.

Syaikh As-Sa’di mengatakan dalam tafsirnya :”Maka Allah menjanjikan bagi orang-orang yang bersabar dengan pahala yang tak terhitung, yaitu pahala yang tidak terbatas dan tidak terukur. Hal tersebut tidak dapat terjadi kecuali karena keutamaan dan kedudukan sabar di sisi Allah”. Jika Allah telah menyiapkan pahala yang begitu besar bagi orang yang bersabar, maka mengapa kesabaran harus kita batasi?. Selain itu, kita juga yakin bahwa seluruh permasalahan yang datang, tidak mungkin melebihi kemampuan yang dimiliki seorang hamba. Sebagaimana firman Allah (yang artinya), “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (QS. Al-Baqoroh 286).

Oleh karena itu segala permasalahan yang kita alami, niscaya dapat kita selesaikan dengan kesabaran, izin serta kekuatan dari Allah ta’ala. Kita beriman bahwa Allah adalah Dzat yang maha kuasa yang memiliki hikmah yang sempurna dalam seluruh ketetapan yang diberikan kepada makhluk-Nya. Dengan keyakinan seperti ini maka sudah sepatutnya kita bersabar dengan segala ketetapan yang terjadi pada kita, dan ingat hal tersebut merupakan ujian bagi kita. Jika kita mampu bersabar maka Allah akan menaikan derajat kita di sisi-Nya.

Ujian yang dialami kita jika dibandingkan dengan para nabi dan rasul maka masih jauh lebih ringan. Manusia yang paling berat ujiannya adalah para nabi. Dan manusia diuji sesuai dengan kadar kondisi agamanya. Sebagaimana riwayat dari Mush’ab bin Sa’id -seorang tabi’in- dari ayahnya, ia berkata, “Wahai Rasulullah, manusia manakah yang paling berat ujiannya?” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Para Nabi, kemudian yang semisalnya dan semisalnya lagi. Seseorang akan diuji sesuai dengan kondisi agamanya. Apabila agamanya begitu kuat (kokoh), maka semakin berat pula ujiannya. Apabila agamanya lemah, maka ia akan diuji sesuai dengan kualitas agamanya. Seorang hamba senantiasa akan mendapatkan cobaan hingga dia berjalan di muka bumi dalam keadaan bersih dari dosa.” (HR. Tirmidzi, shahih). Oleh karena itu ketika kita diberikan ujian, maka ingat masih ada orang yang lebih berat dari ujian yang kita alami, sehingga dapat membantu kita untuk bersabar.

Pahala Yang Besar Diawal Musibah
Pembaca yang dirahmati Allah ta’ala, kita telah mengetahui pahala yang sangat besar bagi mereka yang bersabar. Namun perlu diketahui, pahala sabar tersebut hanya akan didapatkan oleh orang-orang yang melakukannya di awal terjadinya musibah. Adapun orang yang bersabar setelah sebelumnya marah, maka itu juga termasuk perkara yang baik namun tidak mendapatkan pahala yang dijanjikan.

Rasulullah shallalahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya), ”Sesungguhnya namanya sabar adalah ketika di awal musibah.” (HR. Bukhari). Sabar di awal musibah memang sangat sulit untuk dilakukan, untuk itu Allah menjanjikan pahala yang tidak terbatas bagi pelakunya. Adapun orang yang tidak bersabar, bahkan mencela takdir, maka pada hakikatnya ia telah mencela Allah.

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Tidak ada suatu musibah pun yang menimpa seseorang kecuali dengan ijin Allah; dan barangsiapa yang beriman kepada Allah niscaya Dia akan memberi petunjuk kepada hatinya. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS Taghaabun : 11). Rasulullah shallalahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, ”Allah ’Azza wa Jalla berfirman,’Aku disakiti oleh anak Adam. Dia mencela waktu, padahal Aku adalah (pengatur) waktu, Akulah yang membolak-balikkan malam dan siang.” (HR. Muslim). Oleh karena itu ketika kita mengatakan, “Sial sekali hari ini” maka sesungguhnya secara tidak sadar kita telah mencela Dzat yang mengatur waktu, yaitu Allah ta’ala. Kita berlindung kepada Allah dari mencela takdir.

Demikian sedikit pembahasan mengenai sabar, semoga kita dimudahkan untuk mengamalkannya dan dimasukan ke dalam golongan orang yang mendapat keutamaan bersabar. [Ndaru Triutomo, S.Si.]
Readmore »

Description: Keutamaan Bersabar Rating: 5 Reviewer: Rizal ItemReviewed: Keutamaan Bersabar

3 Doa Yang Mustajab

Bismillahirahmanirahim,
Dari Abu Hurairah ra berkata, Rasulullah Saw bersabda: “Tiga doa yang mustajab (didengar oleh Allah) yang tidak ada keraguan lagi di dalamnya; Doa orang yang terdzalimi, doa seorang musafir dan doa orang tua untuk anaknya.” (HR. Tirmidzi. Kitab Tuhfatul Akhwadzi, Hadits nomor 1828).
Ya Tuhan, baiknya sifat-Mu, sehingga doa seorang bapa kepada anaknya juga Engkau dengari. Apalah sangat jasa seorang bapa berbanding ibu kepada anaknya. Tapi Engkau Ya Allah, Maha Baik…. SubhaNalLah…
Readmore »

Description: 3 Doa Yang Mustajab Rating: 5 Reviewer: Rizal ItemReviewed: 3 Doa Yang Mustajab

Recent Posts

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...