Abud Darda’ radhiyallahu’anhu berkata, “Perumpamaan para
ulama di tengah-tengah umat manusia bagaikan bintang-bintang di langit
yang menjadi penunjuk arah bagi manusia.” (lihat Akhlaq al-’Ulama, hal. 29)
Dari Abud Darda’ radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, “Barangsiapa yang menempuh suatu jalan dalam rangka menuntut
ilmu (agama, ed) maka Allah akan membimbingnya ke dalam salah satu jalan
menuju surga. Sesungguhnya para malaikat akan meletakkan sayap-sayapnya
karena ridha kepada penuntut ilmu. Sesungguhnya seorang ahli ilmu akan
dimintakan ampunan oleh segala yang di langit dan segala yang di bumi,
bahkan ikan yang berada di lautan sekalipun. Keutamaan seorang ahli ilmu
di atas ahli ibadah adalah seperti keutamaan bulan di malam purnama di
atas seluruh bintang-bintang. Sesungguhnya para ulama adalah pewaris
para nabi. Para nabi tidaklah mewariskan uang dinar ataupun dirham. Akan
tetapi yang mereka wariskan adalah ilmu. Barangsiapa yang mengambilnya
sesungguhnya dia telah mendapatkan jatah [warisan] yang sangat banyak.”
(HR. Abu Dawud dalam Kitab al-’Ilmi [3641])
Ilmu Sebelum Berkata dan Berbuat
Ilmu merupakan pondasi tegaknya amalan dan ibadah. Sebagian ulama
salaf (terdahulu) berkata, “Barangsiapa yang beribadah kepada Allah
tanpa ilmu maka dia akan lebih banyak merusak daripada memperbaiki.”
(lihat al-’Ilmu, Fadhluhu wa Syarafuhu, hal. 93)
Imam Bukhari rahimahullah membuat bab dalam Shahihnya di dalam Kitab al-’Ilmu sebuah bab dengan judul ‘Ilmu sebelum berkata dan beramal, berdasarkan firman Allah ta’ala (yang artinya), “Maka ketahuilah, bahwa tidak ada sesembahan -yang benar- selain Allah.” (QS. Muhammad: 19).’ Beliau berkata, “Allah memulai dengan ilmu.” (lihat Fath al-Bari [1/194])
Ibnul Munayyir rahimahullah berkata, “Beliau -Imam Bukhari-
bermaksud untuk menjelaskan bahwa ilmu merupakan syarat benarnya ucapan
dan amalan. Sehingga keduanya -ucapan dan amalan- tidak dianggap -benar-
tanpanya. Maka ilmu lebih didahulukan daripada keduanya, sebab ilmu
menjadi faktor yang meluruskan niat, sedangkan lurusnya niat itulah yang
menjadi pelurus amalan…” (lihat Fath al-Bari [1/195])
Fudhail bin Iyadh rahimahullah berkata, “Sesungguhnya amalan
jika ikhlas namun tidak benar maka tidak akan diterima. Demikian pula
apabila amalan itu benar tapi tidak ikhlas juga tidak diterima sampai ia
ikhlas dan benar. Ikhlas itu jika diperuntukkan bagi Allah, sedangkan
benar jika berada di atas Sunnah/tuntunan.” (lihat Jami’ al-’Ulum wa al-Hikam, hal. 19 cet. Dar al-Hadits).
Hakikat Ilmu dan Ulama
Ibnu Mas’ud radhiyallahu’anhu berkata kepada para
sahabatnya, “Sesungguhnya kalian sekarang ini berada di masa para
ulamanya masih banyak dan tukang ceramahnya sedikit. Dan akan datang
suatu masa setelah kalian dimana tukang ceramahnya banyak namun ulamanya
amat sedikit.” (lihat Qowa’id fi at-Ta’amul ma’al ‘Ulama, hal. 40)
Ilmu tidak diukur semata-mata dengan banyaknya riwayat atau banyaknya
pembicaraan. Akan tetapi ia adalah cahaya yang ditanamkan ke dalam
hati. Dengan ilmu itulah seorang hamba bisa memahami kebenaran.
Dengannya pula seorang hamba bisa membedakan antara kebenaran dengan
kebatilan (lihat Qowa’id fi at-Ta’amul ma’al ‘Ulama, hal. 39)
Imam Ibnul A’rabi rahimahullah berkata, “Seorang yang
berilmu tidak dikatakan sebagai alim robbani sampai dia menjadi orang
yang -benar-benar- berilmu, mengajarkan ilmunya, dan juga
mengamalkannya.” (lihat Fath al-Bari [1/197])
Lebih daripada itu, ahli ilmu yang sejati adalah yang senantiasa takut kepada Allah. Allah ta’ala
berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya yang benar-benar merasa takut
kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya hanyalah orang-orang yang
berilmu.” (QS. Fathir: 28). Karena ilmu dan rasa takutnya kepada Allah,
para ulama menjadi orang yang paling jauh dari hawa nafsu dan paling
mendekati kebenaran sehingga pendapat mereka pun diperhitungkan dalam
syari’at Islam (lihat Qowa’id fi at-Ta’amul ma’al ‘Ulama, hal. 52).
Masruq berkata, “Sekadar dengan kualitas ilmu yang dimiliki seseorang
maka sekadar itulah rasa takutnya kepada Allah. Dan sekadar dengan
tingkat kebodohannya maka sekadar itulah hilang rasa takutnya kepada
Allah.” (lihat Syarh Shahih al-Bukhari karya Ibnu Baththal, 1/136)
Sa’id bin Jubair rahimahullah berkata, “Sesungguhnya rasa
takut yang sejati adalah tatkala kamu takut kepada Allah dan rasa takut
itu menghalangimu dari perbuatan maksiat. Itulah rasa takut yang
sebenarnya. Hakikat dzikir adalah kepatuhan kepada Allah. Siapa pun yang
patuh kepada Allah maka dia telah berdzikir kepada-Nya. Barangsiapa
yang tidak patuh kepada-Nya maka dia bukanlah orang yang berdzikir
kepada-Nya, meskipun dia banyak membaca tasbih dan tilawah al-Qur’an.”
(lihat Sittu Durar min Ushul Ahli al-Atsar, hal. 31)
Sa’ad bin Ibrahim rahimahullah pernah ditanya; Siapakah
ulama yang paling fakih (paham agama, ed) di antara penduduk Madinah?
Maka beliau menjawab, “Yaitu orang yang paling bertakwa di antara
mereka.” (lihat Ta’liqat Risalah Lathifah, hal. 44).
Nasehat Bagi Para Da’i dan Penimba Ilmu
Sufyan rahimahullah pernah ditanya, “Menuntut ilmu yang
lebih kau sukai ataukah beramal?”. Beliau menjawab, “Sesungguhnya ilmu
itu dimaksudkan untuk beramal, maka jangan tinggalkan menuntut ilmu
dengan dalih untuk fokus beramal, dan jangan tinggalkan amal dengan
dalih untuk fokus menuntut ilmu.” (lihat Tsamrat al-’Ilmi al-’Amal, hal. 44-45)
Abud Darda’ radhiyallahu’anhu berkata: Aku tidak takut apabila kelak ditanyakan kepadaku, “Hai
Uwaimir, apa yang sudah kamu ilmui?”. Namun, aku khawatir jika
ditanyakan kepadaku, “Apa yang sudah kamu amalkan dari ilmu yang sudah
kamu ketahui?” (lihat Syarh Shahih al-Bukhari karya Ibnu Baththal, 1/136)
Ibnu Baththal berkata, “Barangsiapa yang mempelajari hadits demi
memalingkan wajah-wajah manusia kepada dirinya (baca: riya’) maka kelak
di akherat Allah akan memalingkan wajahnya menuju neraka.” (lihat Syarh Shahih al-Bukhari karya Ibnu Baththal, 1/136)
Sufyan bin ‘Uyainah rahimahullah mengatakan, “Barangsiapa
yang rusak di antara ahli ibadah kita maka pada dirinya terdapat
kemiripan dengan orang Nasrani. Barangsiapa yang rusak di antara ahli
ilmu kita maka pada dirinya terdapat kemiripan dengan orang Yahudi.”
Ibnul Qoyyim mengatakan, “Hal itu dikarenakan orang Nasrani beribadah
tanpa ilmu sedangkan orang Yahudi mengetahui kebenaran akan tetapi
mereka justru berpaling darinya.” (lihat Ighatsat al-Lahfan, hal. 36)
Imam Ibnul Qoyyim rahimahulllah berkata, “…
Seandainya ilmu bisa bermanfaat tanpa amalan niscaya Allah Yang Maha
Suci tidak akan mencela para pendeta Ahli Kitab. Dan jika seandainya
amalan bisa bermanfaat tanpa adanya keikhlasan niscaya Allah juga tidak
akan mencela orang-orang munafik.” (lihat al-Fawa’id, hal. 34)
Ibnus Samak rahimahullah berkata, “Wahai saudaraku. Betapa
banyak orang yang menyuruh orang lain untuk ingat kepada Allah sementara
dia sendiri melupakan Allah. Betapa banyak orang yang menyuruh orang
lain takut kepada Allah akan tetapi dia sendiri lancang kepada Allah.
Betapa banyak orang yang mengajak ke jalan Allah sementara dia sendiri
justru meninggalkan Allah. Dan betapa banyak orang yang membaca Kitab
Allah sementara dirinya tidak terikat sama sekali dengan ayat-ayat
Allah. Wassalam.” (lihat Ta’thirul Anfas, hal. 570)
Wallahu a’lam bish showaab.