Muliakanlah Mereka
At Tauhid edisi VIII/13
Oleh: Abu Mushlih Ari Wahyudi, S.Si
Kaum muslimin yang dimuliakan Allah… Keimanan kita kepada agama Islam tidak mungkin dipisahkan dengan penghormatan kepada orang-orang yang sangat besar jasanya kepada kita. Mereka adalah para Sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Orang-orang yang telah menginfakkan umurnya untuk membela dakwah dan menyampaikannya kepada generasi sesudahnya.
Setiap mukmin tentu jatuh cinta ketika membaca pujian demi pujian yang Allah dan Rasul-Nya tujukan kepada mereka. Setiap muslim pun akan terharu tatkala melihat besarnya pengorbanan yang mereka berikan demi tegaknya agama! Karena bagi mereka iman dan tauhid jauh lebih berharga di atas segala kenikmatan dunia. Bukan hanya harta, waktu, pikiran, dan tenaga yang mereka curahkan. Bahkan nyawa pun rela untuk mereka persembahkan…
[1] Surga Untuk mereka
Para Sahabat Nabi adalah orang-orang yang telah mendapat janji Surga dari Allah subhanahu wa ta’ala. Sebuah keistimewaan yang tidak bisa ditukar dengan emas. Bahkan, dunia dan seisinya tidak ada apa-apanya dibandingkan secuil kenikmatan di Surga! Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Orang-orang yang terdahulu dan pertama-tama dari kalangan Muhajirin dan Anshar, dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah meridhai mereka, dan mereka pun meridhai-Nya. Allah sediakan untuk mereka surga-surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya untuk selama-lamanya. Itulah kemenangan yang sangat besar.” (QS. at-Taubah: 100)
[2] Mereka Sebaik-baik Manusia
Apabila kita ingin menjadi orang baik, tentu saja kita ingin meniru dan mempelajari keteladanan orang-orang yang baik pula. Kebaikan yang dengannya kita akan selamat dari azab Allah dan meraih keutamaan di sisi-Nya. Sementara para Sahabat adalah barisan terdepan dari orang-orang terbaik di muka bumi ini. Dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sebaik-baik manusia adalah di jamanku, kemudian orang-orang yang mengikuti mereka, kemudian orang-orang sesudahnya yang mengikuti mereka.” (HR. Bukhari dan Muslim)
[3] Tidak Ada Yang Menandingi Mereka
Adakah diantara kita orang kaya raya yang mampu dan mau berinfak emas sebesar gunung? Kalaupun ada, ketahuilah bahwa infak semahal itu belum bisa mengalahkan infak seorang Sahabat, walaupun hanya segenggam tangan! Dari Abu Sa’id al-Khudri radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah kalian mencela para Sahabatku! Seandainya salah seorang diantara kalian ada yang berinfak dengan emas sebesar gunung Uhud, niscaya hal itu tidak akan bisa menandingi kualitas infak mereka yang hanya satu mud/genggaman dua telapak tangan, bahkan setengahnya pun tidak.” (HR. Bukhari dan Muslim)
[4] Para Sahabat Laksana Bintang
Para Sahabat adalah penjaga (Kebenaran dan Keutuhan) umat ini. Ketika mereka pergi maka berbagai masalah dan kekacauan pun merebak di tengah umat manusia. Dari Abu Musa al-Asy’ari radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Bintang-bintang adalah penjaga bagi langit. Apabila bintang-bintang itu lenyap maka akan menimpa langit apa yang dijanjikan atasnya (kehancuran). Aku adalah penjaga bagi para Sahabatku. Apabila aku pergi maka akan menimpa mereka apa yang dijanjikan atas mereka. Para Sahabatku juga menjadi penjaga bagi umatku. Apabila para Sahabatku telah pergi maka akan menimpa umatku apa yang dijanjikan atas mereka.” (HR. Muslim)
[5] Deretan Sahabat Terbaik
Siapakah yang meragukan keutamaan para Sahabat terbaik semacam Abu Bakar, ‘Umar, ‘Utsman, dan ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu’anhum? Putra Ali bin Abi Thalib radhiyallahu’anhu yang bernama Muhammad bin al-Hanafiyah pernah bertanya kepada ayahnya, “Aku bertanya kepada ayahku: Siapakah orang yang terbaik setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam?”. Beliau menjawab, “Abu Bakar.” Aku bertanya lagi, “Lalu siapa?”. Beliau menjawab, “’Umar.” Dan aku khawatir jika beliau mengatakan bahwa ‘Utsman adalah sesudahnya, maka aku katakan, “Lalu anda?”. Beliau menjawab, “Aku ini hanyalah seorang lelaki biasa di antara kaum muslimin.” (HR. Bukhari)
Mereka adalah orang-orang terbaik yang menjadi teladan bagi kaum muslimin dalam hal ilmu dan amalan, contoh dalam hal kejujuran dan kedermawanan, teladan dalam hal keberanian dan kesabaran. Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu’anhu’anhuma berkata, “Dahulu di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam masih hidup kami memilih-milih siapakah orang yang terbaik. Maka menurut kami yang terbaik di antara mereka adalah Abu Bakar, kemudian ‘Umar, kemudian ‘Utsman bin ‘Affan. Semoga Allah meridhai mereka semuanya.” (HR. Bukhari)
[6] Keselamatan Dengan Mengikuti Mereka
Berbagai macam konflik dan persengketaan yang timbul semenjak wafatnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berpulangnya generasi terbaik merupakan sunnatullah atas hamba-hamba-Nya. Tidak ada jalan keluar darinya selain berpegang teguh dengan Sunnah beliau dan Sunnah para Khalifah yang lurus dan terbimbing oleh hidayah. Dari al-’Irbadh bin Sariyah radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya barangsiapa diantara kalian yang masih hidup sesudahku, niscaya akan melihat banyak perselisihan.
Oleh sebab itu wajib atas kalian untuk mengikuti Sunnahku dan Sunnah para Khulafa’ur rasyidin yang berada di atas petunjuk. Berpegang teguhlah dengannya, dan gigitlah ia dengan gigi-gigi geraham. Jauhilah perkara-perkara yang diada-adakan. Karena setiap perkara yang diada-adakan adalah bid’ah. Dan setiap bid’ah adalah sesat.” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi, Tirmidzi berkata: hadits hasan sahih)
[7] Bagaimana Sikap Kita?
Dengan mencermati dalil-dalil di atas, teranglah bagi kita -kaum muslimin- bahwa kecintaan dan pemuliaan kepada para Sahabat radhiyallahu’anhum merupakan sebuah kewajiban dan kebenaran yang tidak boleh diragukan. Maka bukanlah perilaku seorang muslim yang baik, menjelek-jelekkan para Sahabat, menuduh mereka berkhianat, membenci mereka, apalagi sampai mengkafirkan mereka!!
Imam Abu Ja’far ath-Thahawi rahimahullah berkata, “Kita mencintai para Sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kita tidak berlebih-lebihan dalam mencintai salah seorang diantara mereka. Kita juga tidak berlepas diri dari siapapun diantara mereka. Kita membenci orang yang membenci mereka, dan juga orang-orang yang menjatuhkan kehormatan mereka. Kita tidak menyebutkan mereka kecuali dengan kebaikan. Cinta kepada mereka adalah termasuk bagian agama, ajaran keimanan dan sikap ihsan. Adapun membenci mereka adalah kekafiran, kemunafikan dan sikap yang melampaui batas.” (lihat al-’Aqidah ath-Thahawiyah)
al-Khathib al-Baghdadi rahimahullah meriwayatkan bahwa Imam Abu Zur’ah ar-Razi mengatakan, “Apabila kamu melihat ada seseorang yang menjelek-jelekkan salah seorang Sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam maka ketahuilah bahwa dia adalah seorang zindik. Hal itu dikarenakan menurut kita Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah membawa kebenaran. Demikian pula, al-Qur’an yang beliau sampaikan adalah benar. Dan sesungguhnya yang menyampaikan kepada kita al-Qur’an dan Sunnah-Sunnah ini adalah para Sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan sesungguhnya mereka -para pencela Sahabat- hanyalah bermaksud untuk menjatuhkan kedudukan para saksi kita demi membatalkan al-Kitab dan as-Sunnah. Maka mereka itu lebih pantas untuk dicela, dan mereka itu adalah orang-orang zindik.” (lihat kitab al-Kifayah)
Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah berkata, “Termasuk Sunnah adalah menyebut-nyebut kebaikan seluruh para Sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, menahan diri dari perselisihan yang timbul diantara mereka. Barangsiapa yang mencela para Sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam atau salah seorang diantara mereka maka dia adalah seorang tukang bid’ah pengikut paham Rafidhah/Syi’ah. Mencintai mereka -para Sahabat- adalah Sunnah. Mendoakan kebaikan untuk mereka adalah ibadah. Meneladani mereka adalah sarana -beragama- dan mengambil atsar/riwayat mereka adalah sebuah keutamaan.” (lihat kitab beliau as-Sunnah)
[8] Doa Untuk Mereka dan Untuk Kita
Sebagai orang-orang yang telah mendapatkan hidayah kepada Islam sudah selayaknya kita berterima kasih kepada para pendahulu kita. Karena melalui dakwah dan perjuangan mereka (baca: para Sahabat Nabi) ajaran-ajaran Islam ini tersampaikan kepada kita. Dikatakan dalam sebuah riwayat, “Tidak dianggap bersyukur kepada Allah orang yang tidak berterima kasih kepada sesama manusia.” Apa yang bisa kita berikan untuk para Sahabat kalau bukan doa agar mereka -dan juga kita- senantiasa mendapatkan rahmat dan ampunan dari-Nya. Inilah doanya orang-orang yang beriman.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman (yang artinya), “Adapun orang-orang yang datang sesudah mereka -sesudah Muhajirin dan Anshar- berdoa; Robbanaghfirlanaa wa li ikhwaaninalladziina sabaquuna bil iimaan, wa laa taj’al fii quluubinaa ghillal liliadziina aamanuu. Robbanaa innaka ro’uufurr rahiim. “Wahai Rabb kami, ampunilah kami dan saudara-saudara kami yang telah terlebih dahulu beriman sebelum kami, dan janganlah Kau jadikan di dalam hati kami ada perasaan dengki terhadap orang-orang yang beriman. Wahai Rabb kami, sesungguhnya Engkau Maha Lembut lagi Maha Penyayang.” (QS. al-Hasyr: 10)
Imam Ibnu Abil ‘Izz al-Hanafi rahimahullah berkata, “Maka siapakah yang lebih sesat daripada orang yang di dalam hatinya terdapat perasaan dengki terhadap kaum mukminin terbaik dan pemimpin para wali Allah ta’ala setelah para Nabi. Bahkan Yahudi dan Nasrani memiliki satu kelebihan di atas mereka (Pendengki). Orang Yahudi ditanya, “Siapakah orang-orang terbaik diantara pengikut agama kalian?”. Mereka menjawab, “Para Sahabat Musa.” Orang Nasrani ditanya, “Siapakah orang-orang terbaik diantara pemeluk agama kalian?”. Mereka menjawab, “Para Sahabat ‘Isa.” Kaum Rafidhah/Syi’ah ditanya, “Siapakah orang-orang terjelek diantara pengikut agama kalian?”. Mereka menjawab, “Para Sahabat Muhammad.” Mereka tidak mengecualikan kecuali sedikit sekali. Bahkan diantara orang yang mereka cela itu terdapat orang yang jauh lebih baik daripada yang mereka kecualikan.” (lihat Syarh al-’Aqidah ath-Thahawiyah) [Abu Mushlih Ari Wahyudi, S.Si]
:: Artikel ini disarikan dari kitab Qothful Jana ad-Daani Syarh Muqoddimah Risalah Ibnu Abi Zaid al-Qairawani (hal. 155-165) karya seorang ulama ahli hadits di kota Madinah Syaikh Abdul Muhsin bin Hamd al-’Abbad al-Badr hafizhahullah, dengan beberapa penambahan dan penyesuaian.